
JAKARTA - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menaruh keyakinan bahwa langkah pemerintah menggelontorkan dana ke sistem keuangan akan memberikan dorongan signifikan bagi sektor riil Indonesia.
Ia melihat kebijakan ini sebagai strategi jangka menengah yang mampu menghidupkan kembali dinamika ekonomi pascakrisis global, sekaligus meningkatkan konsumsi rumah tangga dan ekspansi dunia usaha.
Dalam wawancara bersama Bloomberg Technoz, Selasa (30/9/2025), Purbaya menegaskan bahwa Rp200 triliun dana pemerintah yang ditempatkan di sistem keuangan akan berperan sebagai penggerak roda perekonomian nasional. “Kondisi tersebut akan mendongkrak kinerja sektor riil,” katanya.
Baca Juga
Inspirasi dari Krisis Besar Amerika
Optimisme Purbaya bukan tanpa dasar. Ia merujuk pada pandangan ekonom terkemuka Milton Friedman yang menganalisis krisis keuangan Amerika Serikat (AS) tahun 1930, dikenal sebagai Great Depression.
Menurut Friedman, saat itu kebijakan moneter AS justru memperburuk keadaan. “Waktu itu, suku bunga yang ditetapkan sudah rendah sekali, hampir nol. Tetapi ekonominya AS tetap hancur.
Kenapa itu terjadi, ternyata karena uangnya tidak ada di sistem. Pertumbuhan base money cenderung negatif,” jelas Purbaya.
Ia menilai meski tampak longgar, kebijakan moneter saat itu sebenarnya ketat karena tidak disertai dengan peningkatan likuiditas.
Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah Indonesia kini memilih strategi berbeda: memastikan uang beredar (M0) meningkat melalui penempatan dana besar.
Dampak pada Kredit dan Konsumsi
Menurut Purbaya, tambahan dana di sistem keuangan akan menurunkan biaya dana masyarakat, yang otomatis membuat perbankan terdorong menurunkan bunga pinjaman.
Dengan demikian, baik pelaku usaha maupun konsumen akan lebih percaya diri untuk berbelanja atau melakukan ekspansi bisnis.
“Maka tadinya orang [pengusaha] yang biasa pinjam ke bank untuk ekspansi, lebih tertarik untuk pinjam. Karena biayanya lebih rendah. Begitu pula dengan konsumen [rumah tangga]. Mereka tidak ragu lagi berbelanja, karena bunga bank rendah,” tuturnya.
Efek ganda ini diyakini Purbaya akan mendorong pertumbuhan pasokan sekaligus permintaan di masyarakat, menciptakan siklus positif bagi perekonomian.
Bukan Inflasi yang Didorong Permintaan
Kekhawatiran yang kerap muncul dari kebijakan injeksi dana adalah risiko terjadinya demand pull inflation, yakni kondisi ketika lonjakan permintaan memicu kenaikan harga barang. Namun, Purbaya menilai hal itu tidak akan terjadi dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
“Fenomena demand pull inflation hanya akan terjadi apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas level potensialnya,” ujarnya.
Menurut hitungan Purbaya, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 6,7 persen. Sejak krisis, ekonomi nasional belum pernah menyentuh angka tersebut.
Dengan demikian, pemerintah masih memiliki ruang untuk mendorong permintaan tanpa menimbulkan tekanan inflasi berlebihan.
“Kita punya ruang untuk mendorong ekonomi dengan menggalakkan permintaan sampai beberapa tahun ke depan, tanpa memicu apa yang disebut demand flow inflation,” tegasnya.
Pernah Dilakukan pada 2021
Purbaya menambahkan bahwa strategi serupa pernah dilakukan pemerintah pada Mei 2021. Saat itu, penempatan dana pemerintah di perbankan terbukti mampu memperbaiki likuiditas, memacu kredit, dan mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi.
Dengan pengalaman tersebut, ia semakin yakin langkah tahun ini akan membawa hasil positif bagi perekonomian nasional, khususnya di sektor riil.
Kondisi Sektor Manufaktur
Optimisme ini muncul di tengah sorotan terhadap kinerja sektor riil, terutama industri manufaktur. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren membaik pada Agustus 2025 dengan angka 51,5, menandakan ekspansi setelah sempat terkontraksi empat bulan berturut-turut.
Sebelumnya, PMI mencatat kontraksi di angka 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, 46,9 pada Juni, dan 49,2 pada Juli. PMI menggunakan ambang 50 sebagai batas: angka di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah itu menandakan kontraksi.
Kenaikan PMI menjadi sinyal bahwa dunia usaha mulai kembali bergairah, meski tantangan struktural masih membayangi.
Efek Berganda ke Sektor Riil
Jika kebijakan penempatan dana berjalan sesuai harapan, perbankan akan menyalurkan kredit lebih besar dengan bunga lebih rendah.
Hal ini diharapkan mendorong pelaku industri untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperluas lapangan kerja, serta mempercepat aliran barang dan jasa ke pasar.
Selain itu, konsumsi rumah tangga yang membaik akan memperkuat permintaan domestik, salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan roda pasokan dan permintaan yang sama-sama bergerak, sektor riil diprediksi akan mendapatkan dorongan signifikan.
Penutup
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menginjeksi Rp200 triliun dana pemerintah ke sistem keuangan diyakini akan menjadi motor penggerak sektor riil Indonesia.
Dengan inspirasi dari teori Milton Friedman dan pengalaman krisis AS 1930, Purbaya menilai langkah ini mampu memperbaiki likuiditas, menurunkan bunga pinjaman, meningkatkan kredit, sekaligus mendorong konsumsi rumah tangga.
Meski ada kekhawatiran soal inflasi, ia meyakinkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih memiliki ruang besar untuk pertumbuhan tanpa tekanan harga. Ditambah lagi, tren positif pada sektor manufaktur memberi sinyal bahwa kebijakan ini bisa menjadi momentum kebangkitan sektor riil.
Dengan strategi yang terarah, Purbaya optimistis injeksi dana ini akan mempercepat pemulihan dan mengokohkan pondasi ekonomi Indonesia untuk menghadapi tantangan global.

Muhammad Anan Ardiyan
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
5 Pilihan Rumah Murah Strategis di Kabupaten Tegal 2025
- 01 Oktober 2025
3.
Rumah Subsidi Berkualitas Dengan Sertifikat Hijau 2025
- 01 Oktober 2025
4.
Logistik MotoGP Mandalika 2025 Tiba Lancar Di Lombok
- 01 Oktober 2025