JAKARTA - Isu perlindungan hukum bagi pekerja informal dan profesi baru di era digital kembali menjadi sorotan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Serikat buruh menilai bahwa aturan ketenagakerjaan saat ini masih belum mampu menjangkau perkembangan dunia kerja yang semakin kompleks, sehingga banyak profesi modern tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Wakil Presiden Partai Buruh, Said Salahuddin, menegaskan bahwa negara perlu segera memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak bagi pekerja seperti ojek online (ojol), kurir, konten kreator, serta pekerja di platform digital. “Karena mereka seolah dianggap bukan pekerja, padahal sesungguhnya mereka tergolong sebagai pekerja karena ada pemberi kerja,” ujar Said saat beraudiensi dengan DPR di Kompleks Parlemen, Selasa (30 September 2025).
Profesi Digital Jadi Sorotan
Fenomena perkembangan teknologi telah melahirkan berbagai profesi baru, mulai dari kurir aplikasi hingga kreator konten di media sosial. Namun, keberadaan mereka masih dianggap berada di wilayah abu-abu hukum ketenagakerjaan. Tidak adanya pengakuan resmi menyebabkan para pekerja ini rentan tidak mendapatkan jaminan sosial, perlindungan kerja, maupun hak dasar lainnya.
Said menilai, profesi tersebut layak dipandang sama seperti pekerja formal lain yang berada di bawah struktur perusahaan. “Banyak kelompok pekerja yang selama ini belum mendapat perlindungan dan pemenuhan hak-haknya, padahal sesungguhnya mereka tergolong sebagai pekerja,” tegasnya.
Pekerja Medis dan Awak Kapal Juga Belum Terlindungi
Tak hanya pekerja digital, Said juga menyoroti pekerja medis dan kesehatan. Menurutnya, meski mereka berperan besar dalam pelayanan publik dan kemanusiaan, perlindungan hukum terhadap profesi medis belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang ketenagakerjaan.
“Ini sangat menyedihkan. Mereka sudah berjuang demi kemanusiaan, tapi hak-haknya tidak muncul,” kata Said.
Selain itu, awak kapal juga disebut tidak mendapat jaminan hukum memadai. Saat ini perlindungan mereka hanya sebatas Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri, bukan undang-undang. Kondisi tersebut membuat posisi awak kapal masih lemah dalam menuntut hak-hak normatif, padahal mereka termasuk sektor pekerjaan dengan risiko tinggi.
Serikat Buruh Serahkan Usulan ke DPR
Dalam audiensi tersebut, koalisi serikat buruh menyerahkan naskah rancangan revisi UU Ketenagakerjaan yang mereka susun sendiri kepada pimpinan DPR RI dan pemerintah. Pertemuan dihadiri Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, Cucun Ahmad Syamsurijal, serta perwakilan Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi IX DPR RI. Dari pihak pemerintah, hadir Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Mukhtarudin.
Said menekankan bahwa pembaruan regulasi ketenagakerjaan harus menyeluruh dan responsif terhadap dinamika kerja modern. Hal ini sekaligus menjadi kritik atas lambannya tindak lanjut DPR pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2024 terkait UU Cipta Kerja.
Janji Politik Prabowo
Dorongan serikat buruh ini juga sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, mengungkapkan bahwa Prabowo pernah berkomitmen untuk segera membahas revisi UU Ketenagakerjaan.
“Beliau minta kepada Ketua DPR untuk langsung segera dibahas, segera oleh partai-partai, dan setuju untuk segera dibahas,” ujar Andi usai bertemu dengan Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan, awal September 2025.
Selain revisi UU Ketenagakerjaan, Prabowo juga menjanjikan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset. Kedua RUU tersebut bahkan disebut telah masuk dalam agenda pembicaraan presiden bersama Ketua DPR, Puan Maharani.
Bagian dari Prolegnas 2025
Sebagai informasi, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 memuat 52 RUU, salah satunya revisi UU Ketenagakerjaan. Masuknya revisi ini menjadi harapan baru bagi pekerja, khususnya bagi kelompok profesi yang selama ini termarjinalkan.
Serikat buruh berharap, revisi UU Ketenagakerjaan dapat menghasilkan aturan komprehensif yang tidak hanya mengatur pekerja formal di sektor industri, tetapi juga merangkul kelompok pekerja di sektor informal, platform digital, maupun profesi dengan risiko tinggi seperti medis dan awak kapal.
Harapan Perlindungan Lebih Merata
Usulan perlindungan hukum untuk ojol, kurir, konten kreator, pekerja medis, hingga awak kapal mencerminkan tuntutan keadilan sosial di tengah transformasi dunia kerja. Ketika teknologi dan model bisnis baru berkembang pesat, regulasi pun dituntut untuk mampu mengakomodasi realitas lapangan.
Jika revisi UU benar-benar mengatur perlindungan merata, para pekerja ini tidak lagi dianggap sekadar mitra atau tenaga lepas tanpa status, melainkan diakui sebagai pekerja penuh dengan hak dan kewajiban yang setara.