
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan kembali memunculkan suara kritis dari kalangan pekerja. Kali ini, Koalisi Serikat Buruh menyampaikan tuntutan agar pemerintah dan DPR RI memasukkan aturan mengenai rasio upah antara karyawan level bawah dengan manajer hingga direksi perusahaan.
Dalam audiensi bersama pimpinan DPR RI dan sejumlah menteri terkait di Kompleks Parlemen, Selasa (30/9/2025), Wakil Presiden Partai Buruh Said Salahuddin menegaskan bahwa aturan soal rasio gaji harus diatur secara eksplisit di dalam undang-undang. Menurutnya, ketentuan ini krusial untuk menekan kesenjangan penghasilan yang terlalu lebar antara pekerja dengan atasan mereka.
“Lalu soal rasio upah tertinggi dan terendah, kami juga minta nanti dalam undang-undang itu dibuat perbandingan, misalnya 1:5:10,” ujar Salahuddin.
Baca Juga
Usulan Rasio Gaji yang Lebih Adil
Dalam pemaparannya, Salahuddin menjelaskan mekanisme sederhana dari usulan rasio tersebut. Jika seorang operator menerima gaji Rp 5 juta per bulan, maka manajer menengah seharusnya mendapat Rp 25 juta, sementara direksi maksimal Rp 50 juta. Skema itu diyakini mampu menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat sekaligus mempersempit jurang penghasilan.
“Negara-negara lain pun sudah memberlakukan rasio upah dengan perbandingan,” tambahnya, menekankan bahwa Indonesia perlu belajar dari praktik internasional.
Mencegah Ketimpangan Struktural
Serikat buruh menilai bahwa salah satu masalah besar dalam hubungan industrial di Indonesia adalah ketidaksetaraan penghasilan. Ketika direksi bisa memperoleh gaji puluhan hingga ratusan kali lipat dari karyawan biasa, maka potensi ketidakpuasan sosial akan semakin besar.
Melalui rasio upah yang proporsional, pekerja tidak hanya mendapat penghasilan layak, tetapi juga merasa dihargai sebagai bagian penting dalam keberlangsungan perusahaan. Hal ini sejalan dengan prinsip upah layak dan adil yang selama ini diperjuangkan serikat pekerja.
Audiensi dengan DPR dan Pemerintah
Pertemuan serikat buruh dengan DPR RI berlangsung cukup intens. Dari pihak legislatif, hadir Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal, serta sejumlah pimpinan Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi IX DPR RI.
Sementara itu, dari unsur pemerintah tampak Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Mukhtarudin.
Dalam kesempatan itu, perwakilan buruh juga menyerahkan naskah RUU Ketenagakerjaan versi mereka sendiri. Naskah tersebut merupakan inisiatif koalisi serikat karena merasa belum ada kejelasan arah pembahasan dari pemerintah maupun DPR sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2024.
Draf Usulan dari Serikat
Said Salahuddin menegaskan, penyusunan draf ini adalah bentuk partisipasi sekaligus desakan moral. “Sebelas bulan sudah berjalan sejak MK jatuhkan putusan di Oktober 2024. Rupanya kami masih belum mendengar kejelasan dari DPR RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU,” ucapnya.
“Oleh sebab itu, kami mengambil inisiatif untuk menuangkan dulu secara garis besar masukan dari KSB-PB, yang kami jadikan dalam satu naskah,” lanjutnya.
Selain soal rasio gaji, dalam draf usulan itu juga terdapat sejumlah poin lain, seperti larangan menahan ijazah karyawan oleh perusahaan, aturan pesangon untuk pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), hingga ketentuan standar hidup layak sebagai dasar penetapan upah minimum.
Harapan Buruh terhadap Legislasi Baru
Koalisi Serikat Buruh berharap agar pemerintah dan DPR tidak mengulangi pengalaman pahit dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, yang sempat menuai penolakan luas dari kalangan pekerja. Mereka menegaskan bahwa aspirasi pekerja harus menjadi salah satu dasar pertimbangan utama, bukan sekadar pelengkap dalam penyusunan undang-undang ketenagakerjaan.
Menurut mereka, pengaturan rasio upah bukan hanya menyangkut angka gaji, tetapi juga menyentuh aspek keadilan sosial dan keberlangsungan dunia kerja. Rasio yang lebih proporsional diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, loyalitas, sekaligus menekan potensi konflik industrial.
DPR Diminta Serap Aspirasi
Serikat pekerja menekankan bahwa DPR RI memiliki peran vital dalam menjembatani kepentingan pekerja dan pengusaha. Dengan adanya draf dari buruh, diharapkan legislatif dapat mengakomodasi masukan tersebut dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan.
Buruh juga menuntut agar pembahasan dilakukan secara terbuka, transparan, dan partisipatif, sehingga tidak ada lagi tudingan bahwa UU dibuat terburu-buru atau berpihak hanya pada kepentingan korporasi.
Desakan agar rasio upah diatur secara tegas dalam RUU Ketenagakerjaan menambah daftar panjang aspirasi buruh yang harus diperhatikan pemerintah dan DPR. Usulan perbandingan 1:5:10 antara karyawan, manajer, dan direksi dipandang sebagai langkah konkret untuk mencegah kesenjangan penghasilan yang berlebihan.
Bagi serikat pekerja, perjuangan ini bukan semata soal gaji, melainkan menyangkut martabat dan keadilan bagi seluruh pekerja Indonesia. Kini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah: apakah usulan ini akan benar-benar diakomodasi, atau kembali menjadi catatan aspirasi yang tertunda.

Aldi
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Kapolri Pimpin Sertijab Intelkam-Brimob, Tekankan Regenerasi dan Adaptasi
- Rabu, 01 Oktober 2025
Terpopuler
1.
5 Pilihan Rumah Murah Strategis di Kabupaten Tegal 2025
- 01 Oktober 2025
2.
Rumah Subsidi Berkualitas Dengan Sertifikat Hijau 2025
- 01 Oktober 2025
3.
Logistik MotoGP Mandalika 2025 Tiba Lancar Di Lombok
- 01 Oktober 2025
4.
5.
Rekrutmen PLN 2025 Buka Peluang Karier Nasional Terbaru
- 01 Oktober 2025