
JAKARTA - Banyak pasangan mengira sumber pertengkaran berasal dari masalah besar seperti keuangan, urusan rumah tangga, atau hubungan intim. Namun, penelitian psikologi justru menunjukkan hal yang lebih sederhana: nada suara.
Psikolog Dr. Mark Travers, yang telah lama meneliti dinamika pasangan, menjelaskan bahwa inti pertengkaran sering kali bukan pada isi pembicaraan, melainkan pada cara menyampaikannya. Nada bicara yang salah bisa mengubah percakapan ringan menjadi konflik serius.
Nada Bicara Lebih Penting dari Kata-Kata
Menurut penelitian, sebagian besar makna komunikasi tidak datang dari kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya, makna disampaikan melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan terutama nada suara.
Baca Juga6 Pilihan Sandal Pria Lokal Nyaman dan Trendy Harbolnas 10.10
Sebuah kalimat sederhana seperti “Kamu udah buang sampah belum?” bisa terdengar berbeda tergantung intonasinya. Bisa terdengar sebagai pertanyaan biasa, tapi juga bisa dianggap sebagai sindiran atau tuduhan.
Begitu juga dengan ungkapan “Terserah kamu deh...” yang mungkin dimaksudkan netral, namun bisa terdengar menyindir jika disampaikan dengan nada tertentu. Perbedaan kecil pada suara dapat membawa dampak emosional besar bagi pendengar.
Travers menegaskan bahwa dalam pertengkaran, nada bicara membawa beban emosional. Nada tajam bisa terdengar menyalahkan, nada datar terasa acuh, sementara nada sarkastik bisa dirasakan sebagai bentuk penghinaan.
Kenangan dari Nada, Bukan Kata
Banyak orang tidak mengingat kata-kata spesifik yang diucapkan saat bertengkar. Namun, mereka selalu mengingat bagaimana nada suara pasangan membuat mereka merasa.
Nada bicara yang tinggi atau tajam bisa menimbulkan luka emosional yang bertahan lama. Momen seperti ini sering kali lebih melekat dibanding isi pertengkaran itu sendiri.
Travers menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena manusia lebih peka terhadap emosi yang disampaikan lewat suara dibandingkan arti harfiah dari kata-kata. Itulah sebabnya pertengkaran kecil bisa terasa begitu menyakitkan hanya karena nada yang salah.
Menyadari dan Memperbaiki Nada
Setiap orang bisa terpeleset, terutama ketika lelah, stres, atau sedang terburu-buru. Nada bicara yang keluar sering kali tidak sesuai dengan niat sebenarnya.
Travers menyarankan agar pasangan belajar menyadari hal ini secepat mungkin. Ketika sadar bahwa nada yang digunakan terlalu keras, sebaiknya segera berhenti dan memperbaikinya.
Beberapa contoh kalimat yang bisa digunakan antara lain:
“Maaf, nadaku tadi terdengar tajam. Aku ulangi ya.”
“Aku sadar ucapanku tadi kedengaran kasar. Maksudku bukan begitu.”
“Tunggu sebentar, aku gak suka nada ucapanku barusan. Aku coba ulang.”
Langkah kecil seperti ini menunjukkan kesadaran diri dan empati. Dengan latihan, mengakui kesalahan dalam nada bicara bisa menjadi kebiasaan sehat yang memperkuat hubungan.
Menghentikan Siklus Nada Tinggi
Ketika satu pihak berbicara dengan nada tinggi, reaksi alami pasangannya sering kali adalah membalas dengan nada serupa. Ini memperburuk suasana dan membuat masalah utama terlupakan.
Untuk menghentikan siklus ini, Travers menyarankan agar salah satu pihak tetap tenang dan menanggapi dengan cara yang lebih lembut. Beberapa contoh respons yang bisa digunakan yaitu:
“Aku gak nyaman dengan nada kamu barusan. Bisa diulang dengan cara lain?”
“Aku ingin dengar pendapatmu, tapi nada kamu bikin aku sulit fokus.”
“Aku tahu kamu kesal, tapi tolong jelaskan dengan lebih tenang.”
Pendekatan ini tidak bersifat menyalahkan. Sebaliknya, ini menjadi cara halus untuk mengembalikan komunikasi agar tetap sehat.
Tombol Reset dalam Pertengkaran
Kadang, kedua pihak sudah sama-sama defensif dan saling menyindir. Dalam kondisi seperti ini, salah satu harus cukup berani menekan “tombol reset” untuk menghentikan eskalasi.
Travers menyebut strategi ini sebagai reset phrase. Kalimat sederhana seperti “Ayo mulai dari awal” atau lelucon ringan bisa membantu menurunkan ketegangan.
Kadang, gerakan kecil seperti menggenggam tangan pasangan atau tertawa bersama bisa mengubah suasana. “Kadang istri saya akan tertawa dan berkata, ‘Dengar deh, kita kayak remaja lagi berdebat.’ Kadang saya yang bercanda dan bilang, ‘Istirahat dulu yuk,’” ujar Travers.
Reset tidak menghapus perbedaan pendapat, tapi membuat percakapan kembali produktif. Dengan ketegangan yang menurun, pasangan bisa lebih fokus pada solusi dibanding mempertahankan ego.
Mengapa Nada Suara Begitu Penting
Nada suara menjadi cerminan emosi yang sebenarnya. Ketika seseorang berbicara dengan lembut, pasangan merasa dihargai dan aman. Sebaliknya, nada yang tinggi atau sarkastik menimbulkan rasa diserang dan membuat komunikasi tertutup.
Otak manusia merespons nada suara lebih cepat daripada makna kata. Karena itu, sebelum seseorang memahami isi kalimat, mereka sudah lebih dulu merasakan emosi yang terkandung di dalamnya.
Itulah sebabnya menjaga nada bicara bukan sekadar soal sopan santun, tetapi juga bentuk kepedulian emosional terhadap pasangan.
Pertengkaran dalam hubungan tidak selalu disebabkan oleh hal besar. Sering kali, yang memicunya hanyalah nada suara yang salah.
Kesadaran dalam berbicara, kemampuan memperbaiki nada, dan keberanian menekan tombol reset menjadi kunci menjaga keharmonisan hubungan. Dengan latihan dan niat baik, komunikasi bisa menjadi jembatan kedekatan, bukan sumber perpecahan.
Seperti yang disampaikan Dr. Mark Travers, “Dalam pertengkaran, nada membawa beban emosional.” Maka, bukan hanya apa yang kita katakan yang penting, tetapi juga bagaimana kita mengatakannya.

Nathasya Zallianty
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.