Food Estate Jadi Harapan Atasi Masalah Muatan Balik

Jumat, 03 Oktober 2025 | 10:15:01 WIB
Food Estate Jadi Harapan Atasi Masalah Muatan Balik

JAKARTA — Program tol laut selama ini masih menghadapi masalah serius terkait ketimpangan muatan antara perjalanan berangkat dan arus balik kapal. Muatan berangkat selalu penuh karena membawa pasokan bahan pokok dan kebutuhan penting ke wilayah timur Indonesia, tetapi saat kembali ke pelabuhan asal, muatan sering kali kosong.

Kondisi tersebut membuat biaya operasional menjadi berat, terutama bagi operator kapal, termasuk badan usaha milik negara. Pemerintah kini mencoba mencari jalan keluar dengan mengandalkan hasil panen dari kawasan lumbung pangan atau food estate.

Harapan dari Food Estate Merauke

Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menjelaskan bahwa keberadaan food estate di Indonesia Timur diharapkan mampu menjadi penyeimbang. Ia menyoroti kawasan lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan, yang mencakup lahan seluas 263.984 hektare.

Dudy menyebut kapal-kapal tol laut akan diarahkan membawa hasil panen dari kawasan tersebut untuk kemudian dipasarkan ke wilayah Barat Indonesia. Dengan demikian, muatan kapal pada arus balik tidak lagi kosong sebagaimana yang sering terjadi.

“Kami berharap dengan adanya food estate di Merauke, kekosongan yang selama ini terjadi di arus balik tidak menjadi isu lagi, karena akan ada hasil panen dari food estate yang dapat dikirim ke wilayah Barat Indonesia,” ujarnya.

Ketimpangan Masih Terlihat Jelas

Data terbaru menunjukkan betapa besarnya ketimpangan muatan antara perjalanan berangkat dan pulang. Hingga Agustus 2025, kapal tol laut mengangkut 14.705 kontainer berukuran 20 kaki (TEUs) saat keberangkatan. Namun, saat kapal kembali, jumlahnya hanya 4.095 TEUs.

Artinya, kapasitas muatan yang dimanfaatkan di arus balik hanya sekitar sepertiga dari perjalanan berangkat. Bahkan, terdapat kapal yang sama sekali tidak membawa muatan ketika kembali.

Beberapa di antaranya adalah Kapal Palung Mas dengan rute Tanjung Perak–Nunukan PP, serta Kapal Red Rock, Red Resource, dan Reliance dengan rute Tanjung Perak–Reo PP. Kapal-kapal tersebut dioperasikan oleh PT Merates.

Kapal dengan Muatan Terbesar

Di antara seluruh armada, Kapal Logistik Nusantara 05 milik PT Pelni menjadi kapal dengan muatan terbesar sepanjang 2025. Kapal ini melayani rute Tanjung Perak–437–Makassar–862–Morotai–72–Galela–144–Maba–125–Weda–1205–Tanjung Perak.

Jumlah muatan berangkat yang diangkut mencapai 1.082 TEUs, sedangkan muatan balik tercatat 626 TEUs. Meski angka muatan baliknya relatif lebih baik, ketimpangan tetap ada karena belum bisa menutup kebutuhan kapasitas yang tersedia.

Dampak Ketimpangan Bagi Operator

Minimnya muatan balik berdampak langsung terhadap beban operasional. Kapal-kapal harus menanggung biaya bahan bakar, awak, dan perawatan tanpa adanya pemasukan tambahan dari kargo balik.

Kondisi ini membuat biaya logistik menjadi tinggi dan menekan margin keuntungan perusahaan pelayaran. Tidak sedikit operator yang kemudian mengalami kesulitan menjaga keberlanjutan layanan.

Karena itu, pemerintah berupaya menyeimbangkan distribusi dengan mendorong sektor pangan sebagai penopang arus balik. Food estate dianggap sebagai jawaban paling realistis dalam jangka menengah.

Pemerintah Siapkan Infrastruktur Pendukung

Agar rencana ini bisa berjalan, Kementerian Perhubungan tengah mempercepat pembangunan pelabuhan Wanam di Merauke. Pelabuhan ini nantinya menjadi gerbang utama pengiriman hasil panen food estate ke berbagai daerah lain di Indonesia.

Dengan adanya fasilitas pelabuhan yang memadai, hasil panen dari kawasan lumbung pangan diharapkan bisa langsung dikirim melalui jalur tol laut. Skema ini diharapkan bukan hanya mengurangi kekosongan muatan balik, tetapi juga memperkuat rantai pasok pangan nasional.

Evaluasi Program Tol Laut

Selain mengandalkan food estate, pemerintah juga sedang melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program tol laut. Hingga Agustus 2025, terdapat 39 kapal yang beroperasi melayani 39 trayek ke berbagai wilayah Indonesia.

Skema yang berlaku saat ini mencakup subsidi operasional kapal serta subsidi titip kontainer. Subsidi ini diberikan agar biaya distribusi bisa tetap terjangkau, khususnya untuk masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).

Namun, pemerintah menilai skema ini perlu diperkuat dengan opsi lain. Beberapa di antaranya adalah pemberian konsesi kepada pelaku usaha swasta yang melayani jalur tol laut, serta perluasan mekanisme titip kargo untuk meningkatkan utilisasi kapal.

Food Estate sebagai Game Changer

Jika rencana pengiriman hasil panen dari food estate dapat terealisasi dengan baik, maka masalah kekosongan muatan balik yang selama ini membayangi tol laut bisa mulai teratasi.

Kehadiran lumbung pangan dalam skala besar bukan hanya akan mendukung ketahanan pangan nasional, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi petani lokal. Hasil panen mereka akan memiliki akses pasar yang lebih luas hingga ke wilayah barat Indonesia.

Dengan demikian, food estate bukan sekadar program pertanian, melainkan bagian penting dari strategi logistik nasional. Keberadaannya bisa menjadi game changer bagi keberlangsungan program tol laut.

Harapan untuk Keberlanjutan

Ketimpangan muatan tol laut bukanlah persoalan baru, tetapi selama bertahun-tahun belum menemukan solusi tuntas. Kehadiran food estate membuka peluang untuk memperbaiki ekosistem logistik di Indonesia Timur.

Pemerintah berharap program ini tidak hanya mengatasi masalah jangka pendek, tetapi juga memberikan dampak berkelanjutan. Dengan pasokan hasil bumi yang stabil, kapal-kapal tol laut dapat beroperasi lebih efisien dan biaya logistik bisa ditekan.

Langkah ini sekaligus menjadi bukti bahwa sinergi antara sektor pertanian dan transportasi sangat penting. Jika berhasil, food estate dapat menjadi model yang direplikasi di daerah lain, sehingga manfaat tol laut bisa semakin luas dirasakan masyarakat.

Terkini